Dalam pembahasan hukum halal dan haram, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menyoroti hewan bekicot yang tengah digandrungi
menjadi santapan di beberapa restoran. Bahkan menjadi menu favorit. Melalui
Komisi Fatwanya, MUI sudah memutuskan bahwa mengkonsumsi bekicot sebagai
makanan hukumnya haram.
“Hukum memakan bekicot adalah haram,” kata
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam saat berbincang, Rabu (20/3/2013)
seperti dilansir detikcom. Ni’am juga menjelaskan bahwa bekicot memang
diharamkan, namun tutut dan sejenis kepiting masih halal dikonsumsi.
Bekicot adalah jenis hewan yang hidup hasyarat yakni hewan melata. Berdasarkan
dalil dan rujukan mayoritas kaum ulama Fikih, hewan itu jelas haram. Sedangkan
tutut (Keong/ Bellamya Javanica / Viviparus Javanica) adalah hewan yang mirip
dengan bekicot, namun hidupnya berasal dari air.
Yuk, Sahabat Coledot
kita bahas satu persatu tentang Bekicot dan Tutut biar gak was-was mengkonsumsi
Tutut dan terhindar dari makanan haram serta memilih makanan yang halal dan
baik.
Hukum Bekicot
Bekicot termasuk dalam hukum hasyarot
(hewan kecil yang hidup di darat). Jumhur (mayoritas ulama) mengharamkan hasyarot.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (9: 16) berkata,
في مذاهب العلماء في حشرات الارض كالحيات
والعقارب والجعلان وبنات وردان والفار ونحوها مذهبنا انها حرام وبه قال أبو حنيفة
وأحمد وداود وقال مالك حلال
“Dalam madzhab ulama dan madzhab kami
(Syafi’iyah), hukum hasyarot (seperti ular, kalajengking, kumbang,
kecoak, dan tikus) itu haram. Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah, Imam
Ahmad, dan Daud (Azh Zhohiri). Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa hasyarot
itu halal.”
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan,
ولا يحل أكل الحلزون البري , ولا شيء من
الحشرات كلها : كالوزغ ، والخنافس , والنمل , والنحل , والذباب , والدبر , والدود
كله – طيارة وغير طيارة – والقمل , والبراغيث , والبق , والبعوض وكل ما كان من
أنواعها ؛ لقول الله تعالى : (حرمت عليكم الميتة) ؛ وقوله تعالى (إلا ما ذكيتم) ،
وقد صح البرهان على أن الذكاة في المقدور عليه لا تكون إلا في الحلق ، أو الصدر ,
فما لم يقدر فيه على ذكاة : فلا سبيل إلى أكله : فهو حرام ؛
“Tidak halal memakan bekicot darat dan setiap hasyarot
lainnya (seperti cecak, kumbang, semut, lebah, lalat, seluruh cacing, kutu, dan
nyamuk) karena Allah Ta’ala berfriman (yang artinya), “Kecuali
yang kalian bisa menyembelihnya”. Dalil menunjukkan bahwa penyembelihan
hanya boleh dilakukan pada tenggorokan atau di dada. Sedangkan yang tidak mampu
disembelih, maka jelas tidak boleh dimakan dan makanan seperti ini dihukumi
haram.” (Al Muhalla, 7: 405)
Hukum Tutut (Keong)
Tutut (keong) termasuk dalam keumuman dalil yang
menunjukkan halalnya hewan air. Allah Ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan air dan
makanan (yang berasal) dari air.” (QS. Al Maidah: 96). Yang dimaksud
dengan air di sini bukan hanya air laut, namun juga termasuk hewan air tawar.
Karena pengertian “al bahru al maa’ “ adalah kumpulan air yang banyak.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan air dalam
ayat di atas adalah setiap air yang di dalamnya terdapat hewan air untuk diburu
(ditangkap), baik itu sungai atau kolam.” (Fathul Qodir, 2: 361, Asy Syamilah).
Dalam perkatan yang masyhur dari Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud “shoidul bahr”
dalam ayat di atas adalah hewan air yang ditangkap hidup-hidup, sedangkan yang
dimaksud “tho’amuhu” adalah bangkai hewan air (Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 5: 365). Yang dimaksud bangkai hewan air adalah yang mati begitu saja,
tanpa diketahui sebabnya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
mengatakan,
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه
وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا
الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ
بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هُوَ
الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ».
“Seseorang pernah menanyakan pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami pernah naik kapal dan hanya
membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, maka kami akan kehausan.
Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Air laut itu suci dan
bangkainya pun halal.” (HR. Abu Daud no. 83, An Nasai no. 59, At
Tirmidzi no. 69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ
فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ
وَالطِّحَالُ
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun
dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut
adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah no. 3314. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syuraih –sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam– berkata,
كُلُّ شَىْءٍ فِى الْبَحْرِ مَذْبُوحٌ
“Segala sesuatu yang hidup di air telah
disembelih (artinya: halal).” (Disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab
shahihnya)
Jadi, Tutut itu masuk dalam kategori hewan air,
itu boleh karena habitat asalnya di air. Kecuali dia memiliki habitat air dan
darat. Selain tutut, kepiting, dan rajungan serta hewan sejenis itu menurut MUI
adalah hewan yang habitat asalnya dari air laut. Hewan itu bisa bertahan di
darat, namun waktunya terbatas. Sekalipun kuat hidup di darat untuk sementara
waktu bila ada persediaan air.
Fatwa MUI ini disahkan pada 2012. Fatwa
ditandatangani Prof. DR Hasanuddin AF selaku Ketua Komisi Fatwa.
Sumber : www.rumaysho.com & www.arrahmah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar